PEMBELAJARAN SASTRA SECARA INTEGRATIF
Oleh : Mohammad Arif
Akhir-akhir ini berkembang sebuah usulan untuk memisahkan antara pembelajaran bahasa dengan sastra, dimana yang dimaksud tampaknya bahwa ¡§bahasa¡¨ yaitu tatabahasa dan berbagai ketrampilan menulis praktis seperti surat menyurat, membuat ringkasan, resensi, dsb. adalah termasuk dalam jenis ketrampilan yang ¡§teknis¡¨, sementara ¡§sastra¡¨, yaitu penulisan cerpen, puisi, pantun, dsb. adalah kegiatan yang sifatnya adalah ¡§artistik¡¨ yang tidak terlalu menekankan pada ketepatan secara teknis penulisan tapi lebih memerlukan ¡§rasa¡¨. Keduanya dipandang sebagai memiliki paradigma yang berbeda sehingga dirasa perlu untuk memisahkannya.
Di satu sisi, usulan untuk melakukan pemisahan seperti ini adalah usulan yang positif, karena bagaimana pun juga, perbedaan paradigma antara bahasa dan sastra, kalau memang ada dan untuk sementara kita terima saja asumsi ini demi argument, dengan sendirinya akan berdampak pada pengajaran, dimana keduanya akan menjadi sulit untuk dicampur dan jika dipaksakan akan menjadi rancu dan menimbulkan kebingungan pada siswa, misalnya menulis korespondensi bisnis dengan menggunakan metafora-metafora puitis atau membuat cerpen yang berisi daftar inventaris, yang tentunya juga tidak kita harapkan.
Namun di sisi lain, ada sejumlah hambatan yang akan ditemui jika usulan itu benar-benar dilaksanakan. Yang pertama, membagi sebuah rencana pengajaran yang pada mulanya satu menjadi dua akan memerlukan penambahan sumber daya, yaitu misalnya jam tatap muka harus ditambah, buku teksnya harus ditambah, persiapan gurunya harus bertambah karena sekarang harus menyiapkan dua mata pelajaran dan bahkan di sekolah-sekolah tertentu, itu tidak menutup kemungkinan untuk mengharuskan adanya penambahan ruang kelas khusus untuk pengajaran sastra yang berbeda dari pengajaran bahasa, belum termasuk alat-alat dan media pembelajaran penunjang, menambah jumlah jam pelajaran yang harus diatur jadwalnya oleh bagian kurikulum atau bahkan mengharuskan adanya penambahan jumlah guru. Dan perlu diperhatikan juga bahwa paradigma artistik dari pembelajaran sastra memerlukan adanya intensitas yang lebih tinggi dalam pembelajaran. Hal ini akan membawa beberapa konsekwensi tertentu seperti, memunculkan kebutuhan untuk membatasi jumlah siswa per kelas yang bisa ditangani guru, yang bisa dipenuhi dan bisa tidak dalam implementasinya nanti, dengan segala konsekwensinya. Dampak dari kesulitan ini adalah bahwa pelaksanaan pengajaran akan lebih menekankan pada yang satu dengan mengabaikan pada yang lain:
Kenyataan bahwa pengajaran sastra di SMP maupun SMA bukan berupa program pengetahuan budaya. Sastra Indonesia hanya semata-mata menumpang pada pengajaran bahasa Indonesia dan diberikan hanya selama 2-3 jam per minggu.
Pengajaran sastra di sini lebih banyak kegiatannya untuk mempelajari ragam bahasa, di sisi-sisi ragam bahasa lainnya. Hal ini terlihat bahwa pembobotan beban materinya hanya seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata pelajaran Bahasa Indonesia, dengan nama pokok bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan pemberian nama ini sudah terlihat terjadinya penyempitan kedudukan sastra.
Sementara itu, meskipun pada kurikulum 1994 masih juga terasa adanya upaya mengintegralkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kurikulum 1994 memberi penekanan akan pentingnya membaca secara langsung karya-karya sastra, dan bukan sekadar membaca ringkasan atau sinosipnya. Namun demikian, di dalam praktiknya, pembelajaran sastra ibarat anak tiri yang hampir-hampir tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari para guru. Para guru yang mengajar sastra hampir selalu merupakan juga guru yang mengajar bahasa. Hal semacam ini sebenarnya tidak menjadi masalah sekiranya para guru itu juga mempunyai perhatian yang sama besarnya; namun kenyataan cenderung mampu membuktikan bahwa umumnya para guru itu sekadar menyambi saja tugas sebagai pengajar sastra. Kendati demikian, jika diamati secara saksama, realitas yang semacam ini bukan sepenuhnya kesalahan para guru melainkan kesalahan paradigma pengajaran maupun pembelajaran bahasa dan sastra yang pernah diterima oleh para guru itu ketika mereka masih dalam pendidikan.
Selain dari masalah penambahan sumber daya manusia dan infrastruktur yang diperlukan ketika pengajaran sastra dipisahkan dari pengajaran bahasa secara umum, ada lagi faktor yang perlu diperhatikan yaitu tentang persepsi terhadap sastra. Dalam model pengajaran yang biasa digunakan selama ini, pengajaran sastra lebih banyak menggunakan pendekatan historis, yaitu sastra bukan sebagai pengalaman artistik melainkan sastra sebagai sejarah sastra. Di sini sastra diajarkan sebagai tonggak-tonggak prestasi dalam perkembangan historis yang dikaitkan dengan ideologi nasionalisme, sehingga materi yang dikupas dalam pelajaran sastra cenderung berupa sederetan nama dan karya yang diberi patok-patok penanda berupa tahun dan era atau gerakan. Ini membuat sastra dipersepsi sebagai materi hafalan yang jauh dari paradigma seni dalam sastra.
Selain itu tugas guru Bahasa dan Sastra Indonesia akan semakin berat jika dihadapkan pada asumsi umum yang mengatakan bahwa Sastra bukanlah kebutuhan yang mendesak dalam masyarakat Indonesia saat ini. Hal ini terjadi karena masyarakat kita saat ini sedang mengarah ke masyarakat industri. Sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan mendesak untuk digapai. Perhatian para siswa dan pengelola sekolah terhadap mata pelajaran yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik jauh lebih besar dibandingkan dengan matapelajaran humaniora. Kegiatan kesusastraan yang bersifat kompetitif hanya dilakukan sekali setahun dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda, itupun hanya sebatas ritual tahunan yang bertajuk Bulan Bahasa. Kegiatan yang dilombakan terasa monoton dan tidak menggugah minat siswa lebih jauh pada nilai kesusatraan itu sendiri. Ajang-ajang kompetisi di tingkat nasional masih jarang kita temui yang menyangkut pelajaran sastra. Ini semakin membuktikan bahwa pelajaran bahasa dan sastra adalah pelajaran ¡§anak tiri¡¨ yang dimanja dengan banyaknya jam pelajaran tetapi tidak diperhatikan dari sisi guna manfaatnya.
Namun sebenarnya tujuan yang ingin dicapai dalam memisahkan antara bahasa dengan sastra dalam pengajaran bahasa Indonesia bukannya tidak bisa dicarikan jalan keluarnya. Bagaimana pun juga, argumen tentang pemisahan antara bahasa dan sastra yang didasarkan pada perbedaan paradigma antara keduanya adalah argumen yang kuat, karena memang dalam kenyataannya paradigma artistik selalu memiliki nuansa non-fungsional di dalamnya, sementara paradigma bahasa sebagai ilmu bahasa, seperti pada linguistik, semantik, semiotik, dsb., dan juga bahasa sebagai ketrampilan komunikasi praktis dengan sendirinya memiliki kadar yang sangat kuat akan kebutuhan fungsional yang pragmatis dan non-artistik.
Namun untuk mengaplikasikan perbedaan paradigma bahasa versus sastra itu dalam pengajaran, tidak perlu harus disertai dengan implementasi secara kurikuler yang membagi-baginya berdasarkan perbedaan paradigmatis. Justru sebaliknya, penulis memandang bahwa solusinya terletak pada pengintegrasian kegiatan pengajaran itu sendiri. Ini bisa dilakukan dengan menggunakan pengajaran tematis yang melibatkan disiplin di luar bahasa atau pendekatan lintas disipliner (cross-discipline). Sebagai contoh, guru bahasa Indonesia bisa mengajarkan tentang pantun lama dengan cara bekerjasama dengan guru bidang lain, misalnya guru bidang Pendidikan Moral. Dalam sesi tatap muka dengan guru Bahasa Indonesia, siswa akan diberi aspek-aspek teknis tentang pantun, seperti konsep sampiran dan isi, konsep persajakan, dan beberapa contoh karya pantun lama.
Kemudian siswa diminta untuk mencoba membuat pantun sendiri dengan kreatifitas mereka masing-masing dengan mengambil tema dari Pendidikan Moral, yaitu pantun didaktis yang berisi ajakan-ajakan atau pesan-pesan moral. Hal serupa juga bisa diterapkan untuk pelajaran drama, dimana guru Bahasa Indonesia bekerjasama dengan guru sejarah. Siswa bisa diberi instruksi tentang aspek-aspek teknis dari drama dan kemudian diminta untuk membuat pertunjukan drama dengan mengambil tema dari pelajaran sejarah yang sedang diberikan pada saat itu, mungkin misalnya mengadegankan kepahlawanan Diponegoro saat ditangkap Jendral De Kock sebagai bentuk ekspresi dari tragedi. Dalam kegiatan seperti ini kelas akan ditangani oleh dua guru sekaligus. Pembelajaran dengan pola pengajaran tim (team teaching) berdasar tema bukan rumpun dan bersifat sementara.
Dengan pola seperti ini siswa akan mendapat dua nilai sekaligus dalam satu kegiatan pembelajaran, yaitu mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dan mata pelajaran yang dipadukan materinya, dalam dua contoh di atas disebutkan mata pelajaran Sejarah dan Pendidikan Moral, dan ini tidak menutup kerjasama dengan yang lainnya. Mengingat begitu banyaknya Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh siswa dalam satu tahun pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Diharapkan bahwa dengan cara ini, kekhawatiran tentang masalah kekurangan sumber daya yang terkait dengan kebutuhan untuk membuat kelas baru bagi sastra yang terpisah dari kelas bahasa bisa diatasi karena dengan cara ini sebenarnya tidak memerlukan tambahan sumber daya baru dan bisa memanfaatkan sumber daya yang sudah ada. Efesiensi waktu pembelajaran juga bisa diperoleh dengan kegiatan ini. Beban siswa terhadap standart kompetensi yang disusun dalam silabus masing-masing guru mata pelajaran bisa terpenuhi dengan tidak terlalu banyak pengulangan. Di sisi lain, ini sekaligus bisa mengatasi kesulitan dalam mempertahankan minat siswa untuk belajar sastra yang ditimbulkan oleh persepsi bahwa sastra adalah hafalan semata. Mengadakan kegiatan yang melibatkan siswa secara aktif ini akan meningkatkan kompetensi siswa dalam sastra tanpa harus menambah rasa kebosanan mereka dan sekaligus membuat pengajaran bahasa dan sastra Indonesia menjadi lebih menarik dan meningkatkan daya kreasi siswa.
Oleh : Mohammad Arif
Akhir-akhir ini berkembang sebuah usulan untuk memisahkan antara pembelajaran bahasa dengan sastra, dimana yang dimaksud tampaknya bahwa ¡§bahasa¡¨ yaitu tatabahasa dan berbagai ketrampilan menulis praktis seperti surat menyurat, membuat ringkasan, resensi, dsb. adalah termasuk dalam jenis ketrampilan yang ¡§teknis¡¨, sementara ¡§sastra¡¨, yaitu penulisan cerpen, puisi, pantun, dsb. adalah kegiatan yang sifatnya adalah ¡§artistik¡¨ yang tidak terlalu menekankan pada ketepatan secara teknis penulisan tapi lebih memerlukan ¡§rasa¡¨. Keduanya dipandang sebagai memiliki paradigma yang berbeda sehingga dirasa perlu untuk memisahkannya.
Di satu sisi, usulan untuk melakukan pemisahan seperti ini adalah usulan yang positif, karena bagaimana pun juga, perbedaan paradigma antara bahasa dan sastra, kalau memang ada dan untuk sementara kita terima saja asumsi ini demi argument, dengan sendirinya akan berdampak pada pengajaran, dimana keduanya akan menjadi sulit untuk dicampur dan jika dipaksakan akan menjadi rancu dan menimbulkan kebingungan pada siswa, misalnya menulis korespondensi bisnis dengan menggunakan metafora-metafora puitis atau membuat cerpen yang berisi daftar inventaris, yang tentunya juga tidak kita harapkan.
Namun di sisi lain, ada sejumlah hambatan yang akan ditemui jika usulan itu benar-benar dilaksanakan. Yang pertama, membagi sebuah rencana pengajaran yang pada mulanya satu menjadi dua akan memerlukan penambahan sumber daya, yaitu misalnya jam tatap muka harus ditambah, buku teksnya harus ditambah, persiapan gurunya harus bertambah karena sekarang harus menyiapkan dua mata pelajaran dan bahkan di sekolah-sekolah tertentu, itu tidak menutup kemungkinan untuk mengharuskan adanya penambahan ruang kelas khusus untuk pengajaran sastra yang berbeda dari pengajaran bahasa, belum termasuk alat-alat dan media pembelajaran penunjang, menambah jumlah jam pelajaran yang harus diatur jadwalnya oleh bagian kurikulum atau bahkan mengharuskan adanya penambahan jumlah guru. Dan perlu diperhatikan juga bahwa paradigma artistik dari pembelajaran sastra memerlukan adanya intensitas yang lebih tinggi dalam pembelajaran. Hal ini akan membawa beberapa konsekwensi tertentu seperti, memunculkan kebutuhan untuk membatasi jumlah siswa per kelas yang bisa ditangani guru, yang bisa dipenuhi dan bisa tidak dalam implementasinya nanti, dengan segala konsekwensinya. Dampak dari kesulitan ini adalah bahwa pelaksanaan pengajaran akan lebih menekankan pada yang satu dengan mengabaikan pada yang lain:
Kenyataan bahwa pengajaran sastra di SMP maupun SMA bukan berupa program pengetahuan budaya. Sastra Indonesia hanya semata-mata menumpang pada pengajaran bahasa Indonesia dan diberikan hanya selama 2-3 jam per minggu.
Pengajaran sastra di sini lebih banyak kegiatannya untuk mempelajari ragam bahasa, di sisi-sisi ragam bahasa lainnya. Hal ini terlihat bahwa pembobotan beban materinya hanya seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata pelajaran Bahasa Indonesia, dengan nama pokok bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan pemberian nama ini sudah terlihat terjadinya penyempitan kedudukan sastra.
Sementara itu, meskipun pada kurikulum 1994 masih juga terasa adanya upaya mengintegralkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kurikulum 1994 memberi penekanan akan pentingnya membaca secara langsung karya-karya sastra, dan bukan sekadar membaca ringkasan atau sinosipnya. Namun demikian, di dalam praktiknya, pembelajaran sastra ibarat anak tiri yang hampir-hampir tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari para guru. Para guru yang mengajar sastra hampir selalu merupakan juga guru yang mengajar bahasa. Hal semacam ini sebenarnya tidak menjadi masalah sekiranya para guru itu juga mempunyai perhatian yang sama besarnya; namun kenyataan cenderung mampu membuktikan bahwa umumnya para guru itu sekadar menyambi saja tugas sebagai pengajar sastra. Kendati demikian, jika diamati secara saksama, realitas yang semacam ini bukan sepenuhnya kesalahan para guru melainkan kesalahan paradigma pengajaran maupun pembelajaran bahasa dan sastra yang pernah diterima oleh para guru itu ketika mereka masih dalam pendidikan.
Selain dari masalah penambahan sumber daya manusia dan infrastruktur yang diperlukan ketika pengajaran sastra dipisahkan dari pengajaran bahasa secara umum, ada lagi faktor yang perlu diperhatikan yaitu tentang persepsi terhadap sastra. Dalam model pengajaran yang biasa digunakan selama ini, pengajaran sastra lebih banyak menggunakan pendekatan historis, yaitu sastra bukan sebagai pengalaman artistik melainkan sastra sebagai sejarah sastra. Di sini sastra diajarkan sebagai tonggak-tonggak prestasi dalam perkembangan historis yang dikaitkan dengan ideologi nasionalisme, sehingga materi yang dikupas dalam pelajaran sastra cenderung berupa sederetan nama dan karya yang diberi patok-patok penanda berupa tahun dan era atau gerakan. Ini membuat sastra dipersepsi sebagai materi hafalan yang jauh dari paradigma seni dalam sastra.
Selain itu tugas guru Bahasa dan Sastra Indonesia akan semakin berat jika dihadapkan pada asumsi umum yang mengatakan bahwa Sastra bukanlah kebutuhan yang mendesak dalam masyarakat Indonesia saat ini. Hal ini terjadi karena masyarakat kita saat ini sedang mengarah ke masyarakat industri. Sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan mendesak untuk digapai. Perhatian para siswa dan pengelola sekolah terhadap mata pelajaran yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik jauh lebih besar dibandingkan dengan matapelajaran humaniora. Kegiatan kesusastraan yang bersifat kompetitif hanya dilakukan sekali setahun dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda, itupun hanya sebatas ritual tahunan yang bertajuk Bulan Bahasa. Kegiatan yang dilombakan terasa monoton dan tidak menggugah minat siswa lebih jauh pada nilai kesusatraan itu sendiri. Ajang-ajang kompetisi di tingkat nasional masih jarang kita temui yang menyangkut pelajaran sastra. Ini semakin membuktikan bahwa pelajaran bahasa dan sastra adalah pelajaran ¡§anak tiri¡¨ yang dimanja dengan banyaknya jam pelajaran tetapi tidak diperhatikan dari sisi guna manfaatnya.
Namun sebenarnya tujuan yang ingin dicapai dalam memisahkan antara bahasa dengan sastra dalam pengajaran bahasa Indonesia bukannya tidak bisa dicarikan jalan keluarnya. Bagaimana pun juga, argumen tentang pemisahan antara bahasa dan sastra yang didasarkan pada perbedaan paradigma antara keduanya adalah argumen yang kuat, karena memang dalam kenyataannya paradigma artistik selalu memiliki nuansa non-fungsional di dalamnya, sementara paradigma bahasa sebagai ilmu bahasa, seperti pada linguistik, semantik, semiotik, dsb., dan juga bahasa sebagai ketrampilan komunikasi praktis dengan sendirinya memiliki kadar yang sangat kuat akan kebutuhan fungsional yang pragmatis dan non-artistik.
Namun untuk mengaplikasikan perbedaan paradigma bahasa versus sastra itu dalam pengajaran, tidak perlu harus disertai dengan implementasi secara kurikuler yang membagi-baginya berdasarkan perbedaan paradigmatis. Justru sebaliknya, penulis memandang bahwa solusinya terletak pada pengintegrasian kegiatan pengajaran itu sendiri. Ini bisa dilakukan dengan menggunakan pengajaran tematis yang melibatkan disiplin di luar bahasa atau pendekatan lintas disipliner (cross-discipline). Sebagai contoh, guru bahasa Indonesia bisa mengajarkan tentang pantun lama dengan cara bekerjasama dengan guru bidang lain, misalnya guru bidang Pendidikan Moral. Dalam sesi tatap muka dengan guru Bahasa Indonesia, siswa akan diberi aspek-aspek teknis tentang pantun, seperti konsep sampiran dan isi, konsep persajakan, dan beberapa contoh karya pantun lama.
Kemudian siswa diminta untuk mencoba membuat pantun sendiri dengan kreatifitas mereka masing-masing dengan mengambil tema dari Pendidikan Moral, yaitu pantun didaktis yang berisi ajakan-ajakan atau pesan-pesan moral. Hal serupa juga bisa diterapkan untuk pelajaran drama, dimana guru Bahasa Indonesia bekerjasama dengan guru sejarah. Siswa bisa diberi instruksi tentang aspek-aspek teknis dari drama dan kemudian diminta untuk membuat pertunjukan drama dengan mengambil tema dari pelajaran sejarah yang sedang diberikan pada saat itu, mungkin misalnya mengadegankan kepahlawanan Diponegoro saat ditangkap Jendral De Kock sebagai bentuk ekspresi dari tragedi. Dalam kegiatan seperti ini kelas akan ditangani oleh dua guru sekaligus. Pembelajaran dengan pola pengajaran tim (team teaching) berdasar tema bukan rumpun dan bersifat sementara.
Dengan pola seperti ini siswa akan mendapat dua nilai sekaligus dalam satu kegiatan pembelajaran, yaitu mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dan mata pelajaran yang dipadukan materinya, dalam dua contoh di atas disebutkan mata pelajaran Sejarah dan Pendidikan Moral, dan ini tidak menutup kerjasama dengan yang lainnya. Mengingat begitu banyaknya Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh siswa dalam satu tahun pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Diharapkan bahwa dengan cara ini, kekhawatiran tentang masalah kekurangan sumber daya yang terkait dengan kebutuhan untuk membuat kelas baru bagi sastra yang terpisah dari kelas bahasa bisa diatasi karena dengan cara ini sebenarnya tidak memerlukan tambahan sumber daya baru dan bisa memanfaatkan sumber daya yang sudah ada. Efesiensi waktu pembelajaran juga bisa diperoleh dengan kegiatan ini. Beban siswa terhadap standart kompetensi yang disusun dalam silabus masing-masing guru mata pelajaran bisa terpenuhi dengan tidak terlalu banyak pengulangan. Di sisi lain, ini sekaligus bisa mengatasi kesulitan dalam mempertahankan minat siswa untuk belajar sastra yang ditimbulkan oleh persepsi bahwa sastra adalah hafalan semata. Mengadakan kegiatan yang melibatkan siswa secara aktif ini akan meningkatkan kompetensi siswa dalam sastra tanpa harus menambah rasa kebosanan mereka dan sekaligus membuat pengajaran bahasa dan sastra Indonesia menjadi lebih menarik dan meningkatkan daya kreasi siswa.